Headlines

Jejak Sriwijaya di Tarombo Batak dan Tabagsel

Medan, Sumatera Utara - Sebuah diskusi menarik di stasiun radio lokal baru-baru ini membuka tabir sejarah yang menghubungkan dua kekuatan besar di masa lalu Nusantara, Sriwijaya dan Kerajaan Panai, yang berpusat di wilayah Tabagsel. Seorang keturunan Panai, dalam penjelasannya, tidak hanya mengurai makna gelar "Namora Sodoguron" yang disandangnya, tetapi juga menyingkap jalinan pernikahan dan pengaruh Sriwijaya yang merasuk jauh ke dalam tradisi dan silsilah masyarakat Mandailing, Tabagsel, dan Batak secara luas.

Menurut penuturan narasumber, gelar "Namora Sodoguron" diperoleh melalui pernikahan dengan keturunan seorang Mahapatih dari Sriwijaya. Pernikahan ini menjadi kunci untuk memahami hubungan yang kompleks antara kedua entitas politik tersebut. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa Ompu Sodoguron, leluhur dari pihak narasumber, menikahi seorang Putri Panai, semakin mempererat tali kekerabatan di antara kedua keluarga besar ini.

Sebuah pertanyaan menarik muncul mengenai akuisisi Sriwijaya terhadap Panai. Alih-alih melihatnya sebagai agresi murni antar kerajaan yang berbeda, narasumber justru memberikan perspektif yang mengejutkan. Menurutnya, relasi tersebut terjadi dalam konteks hubungan kekeluargaan yang sudah terjalin melalui pernikahan. Hal ini mengindikasikan bahwa dinamika politik dan kekuasaan pada masa itu seringkali dipengaruhi oleh jalinan kekerabatan yang rumit.

Pernikahan narasumber dengan keturunan Mahapatih Sriwijaya semakin memperkuat pandangan ini, menghubungkan dirinya secara langsung dengan konteks historis yang sedang dibahas. Lebih lanjut, narasumber mengidentifikasi Hasibuan sebagai bagian dari Boru Pusako di Tabagsel, sebuah istilah yang merujuk pada kelompok marga atau keluarga inti yang memiliki kedudukan penting dalam struktur sosial masyarakat setempat.

Keterkaitan antara Sriwijaya dan Panai tidak hanya terbatas pada pernikahan dan potensi konflik internal. Sejarah mencatat bahwa kedua kekuatan ini pernah menghadapi ancaman eksternal yang sama. Pada abad ke-11 Masehi, pasukan Rajendra Chola dari kerajaan India menyerbu wilayah Asia Tenggara, termasuk Sriwijaya dan Kerajaan Panai.

Serangan ini merupakan bagian dari ekspansi maritim kerajaan Chola yang ambisius. Fakta bahwa keduanya menjadi target serangan yang sama semakin menunjukkan kedekatan geografis dan kemungkinan aliansi atau setidaknya interaksi yang signifikan di antara mereka.

Lebih jauh dari sekadar hubungan politik dan militer, pengaruh Sriwijaya ternyata meresap jauh ke dalam aspek budaya dan sosial masyarakat Mandailing, Tabagsel, dan Batak secara keseluruhan. Hal ini tercermin dalam berbagai elemen tradisi, bahasa, dan terutama dalam sistem kekerabatan atau tarombo. Jejak-jejak nama, gelar, dan konsep-konsep yang berasal dari era Sriwijaya dipercaya masih dapat ditemukan dalam struktur sosial dan adat masyarakat di wilayah tersebut.

Penting untuk dicatat bahwa tarombo, sebagai catatan silsilah yang sangat dijunjung tinggi dalam masyarakat Batak, Mandailing, dan Tabagsel, kemungkinan menyimpan memori kolektif tentang interaksi dan perkawinan dengan tokoh-tokoh penting dari Sriwijaya. Adanya tokoh seperti Namora Sende yang memiliki dua versi penyebutan (versi umum dan versi Hasibuan) bisa menjadi indikasi adanya asimilasi dan adaptasi nama atau gelar dalam perkembangan sejarah lokal.

Pengaruh Sriwijaya di wilayah ini tidaklah mengherankan mengingat dominasi kerajaan maritim tersebut selama berabad-abad di Sumatera. Sebagai pusat perdagangan dan kekuasaan yang besar, Sriwijaya tentu memiliki interaksi yang intens dengan wilayah-wilayah di sekitarnya, termasuk kerajaan-kerajaan yang lebih kecil seperti Panai. Interaksi ini tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi dan politik, tetapi juga merembes ke dalam ranah sosial dan budaya.

Hipotesis mengenai pengaruh Sriwijaya dalam tarombo masyarakat Batak, Mandailing, dan Tabagsel membuka ruang penelitian yang menarik. Para ahli sejarah dan antropologi dapat meneliti lebih lanjut mengenai kemiripan nama, gelar, dan struktur sosial antara era Sriwijaya dan tradisi masyarakat di wilayah tersebut. Analisis linguistik juga dapat dilakukan untuk mengidentifikasi kata-kata serapan atau konsep budaya yang mungkin berasal dari pengaruh Sriwijaya.

Kisah yang terungkap dari diskusi radio ini memberikan perspektif baru dalam memahami sejarah Sumatera Utara, khususnya wilayah Mandailing dan Tabagsel. Hubungan antara Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan di wilayah ini ternyata jauh lebih kompleks dan melibatkan jalinan pernikahan, potensi konflik internal, serta pengaruh budaya yang mendalam.

Penjelasan dari keturunan Panai ini menjadi pengingat bahwa sejarah lokal seringkali menyimpan detail-detail penting yang dapat memperkaya pemahaman kita tentang interaksi antar peradaban di masa lalu. Jejak Sriwijaya tidak hanya tertinggal di Palembang sebagai pusat kekuasaannya, tetapi juga tersebar di berbagai wilayah lain di Sumatera, termasuk di tanah Batak.

Dengan menelusuri jejak-jejak ini, kita dapat merekonstruksi gambaran yang lebih utuh tentang bagaimana Sriwijaya berinteraksi dengan wilayah-wilayah di sekitarnya, bagaimana pengaruhnya menyebar, dan bagaimana interaksi tersebut membentuk identitas dan tradisi masyarakat setempat hingga kini.

Penelitian lebih lanjut diharapkan dapat mengkonfirmasi dan memperdalam pemahaman kita tentang warisan Sriwijaya di tanah Batak.

Kisah ini adalah contoh bagaimana tradisi lisan dan pengetahuan lokal dapat menjadi sumber informasi yang berharga dalam mengungkap lapisan-lapisan sejarah yang mungkin tidak tercatat dalam kronik-kronik resmi. Mendengarkan cerita dari para keturunan langsung dapat memberikan perspektif yang unik dan memperkaya pemahaman kita tentang masa lalu yang kompleks dan saling terhubung.

Jejak pernikahan antara keluarga kerajaan Sriwijaya dan Panai menjadi simbol betapa eratnya hubungan antara kedua kekuatan ini. Meskipun catatan sejarah tentang invasi mungkin memberikan kesan adanya konflik, latar belakang kekerabatan menunjukkan adanya dinamika yang lebih nuanced. Pengaruh Sriwijaya yang merasuk ke dalam tarombo dan tradisi masyarakat Batak, Mandailing, dan Tabagsel adalah bukti nyata dari interaksi yang mendalam dan berlangsung lama.

Kisah ini mengajak kita untuk melihat sejarah tidak hanya dari catatan peperangan, tetapi juga dari jalinan perkawinan dan pertukaran budaya yang membentuk peradaban Nusantara.


Share this:

Post a Comment

 
Copyright © Melayu Siam. Designed by OddThemes