Di tengah situasi politik dan keamanan Yaman yang masih genting, Dewan Kepresidenan yang dibentuk untuk menggantikan Presiden Abdrabbuh Mansur Hadi justru menghadapi keretakan serius di tubuhnya sendiri. Salah satu aktor penting dalam pemerintahan ini, Brigadir Jenderal Tarik Saleh, kini secara terbuka berseteru dengan Presiden Dewan Rashad al-Alimi.
Sejak didirikan, Dewan Kepresidenan terdiri dari delapan anggota yang mewakili berbagai faksi dan kekuatan militer serta politik di Yaman. Presiden Rashad al-Alimi memimpin dewan ini, dengan sejumlah tokoh berpengaruh di antaranya Tarik Saleh, Aidarus al-Zubaidi dari Dewan Transisi Selatan (STC), Sultan al-Arada dari Marib, dan beberapa komandan militer dari wilayah barat dan selatan negara itu.
Ketegangan mulai mencuat ketika kantor politik milik Tarik Saleh, yakni Political Bureau of the National Resistance, mengeluarkan pernyataan keras yang mempertanyakan eksistensi mereka dalam pengambilan keputusan di Dewan Kepresidenan. Dalam pernyataan itu, tersirat kekecewaan karena Tarik dianggap dipinggirkan dari diskusi penting, khususnya terkait masa depan kawasan Taiz dan pantai barat.
Meski pernyataan itu dibalut diplomasi, para analis menilai ini adalah benturan politik pertama secara terbuka antara Tarik Saleh dengan Rashad al-Alimi. Perseteruan ini tidak semata soal kursi, tetapi terkait pengaruh regional dan alur dukungan dari kekuatan eksternal, terutama Uni Emirat Arab dan Arab Saudi.
Tarik Saleh dianggap sebagai sosok yang banyak didukung Abu Dhabi dan punya kekuatan militer solid di pantai barat melalui pasukan National Resistance. Kehadirannya di dewan pun sejak awal disambut dengan kekhawatiran oleh Riyadh, yang cenderung lebih hati-hati dengan eksistensi faksi-faksi yang dekat dengan agenda Emirat.
Salah satu isu yang jadi sumber ketegangan adalah proyek penyediaan air bersih di kota Taiz, yang dijanjikan oleh Uni Emirat Arab. Tarik Saleh vokal mendorong percepatan proyek tersebut, karena menyentuh langsung kebutuhan masyarakat. Namun, upayanya justru menghadapi resistensi politik di dalam pemerintahan pusat di Aden.
Presiden Rashad dituding mencoba menghambat upaya Tarik Saleh, bukan semata karena persoalan teknis, melainkan karena tekanan politik dari Riyadh yang enggan melihat Tarik semakin menguat. Saudi memang sejak awal lebih condong menjaga keseimbangan kekuatan tanpa memberi ruang terlalu besar pada salah satu pihak.
Masalah di Taiz juga tak bisa dipandang sebelah mata. Kota ini memiliki sejarah panjang sebagai pusat perlawanan terhadap Houthi dan menjadi wilayah yang sebagian besar telah dibebaskan oleh milisi rakyat pimpinan Hamoud al-Mikhlafi serta tentara nasional. Sayangnya, kemenangan itu tidak diiringi dengan perhatian serius dari pemerintah pusat.
Kini, masyarakat Taiz kembali terjebak di tengah tarik-menarik politik kekuasaan. Banyak warga yang menuntut agar kebutuhan dasar, terutama air bersih dan gaji aparat keamanan serta pegawai negeri, segera dipenuhi. Namun kondisi stagnan di Dewan Kepresidenan membuat solusi belum juga hadir.
Di sisi lain, Dewan Kepresidenan dipandang gagal menunjukkan efektivitas sejak dibentuk. Pertikaian internal, tarik-menarik kepentingan, dan minimnya visi bersama untuk masa depan Yaman membuat situasi di berbagai front perang justru memburuk. Houthi kian agresif sementara kubu pemerintah terfragmentasi.
Pemerintah Saudi dan Emirat pun disebut-sebut mulai berselisih pendapat soal arah masa depan Yaman. Abu Dhabi condong mempertahankan kekuatan Tarik Saleh dan STC di selatan, sementara Riyadh berusaha menjaga struktur pusat tetap utuh di bawah Rashad al-Alimi.
Pengamat politik regional menyebut, jika Dewan Kepresidenan gagal menyatukan barisan dan membenahi sistem tata kelola internalnya, maka keberadaan dewan ini hanya tinggal menunggu waktu untuk runtuh. Kondisi itu akan membuka celah makin luas bagi Houthi untuk memantapkan kontrolnya.
Salah satu poin penting yang disoroti dalam pernyataan kantor politik Tarik Saleh adalah pentingnya memperbaiki sistem pengambilan keputusan di dewan, termasuk soal distribusi proyek, peran lokal di Taiz, dan pembenahan ketimpangan pemberian gaji bagi tentara dan aparat keamanan.
Sayangnya, pernyataan itu memicu reaksi keras dari loyalis Presiden Rashad, yang menuduh Tarik Saleh memainkan isu Taiz untuk kepentingan pribadi dan kepentingan politik Emirat. Narasi ini kemudian diangkat oleh media-media pro-pemerintah pusat.
Lebih buruk lagi, ketegangan ini memunculkan eskalasi kampanye media, di mana media pendukung Tarik mulai menyindir ketidakbecusan Dewan Kepresidenan. Kondisi ini dikhawatirkan semakin merusak citra pemerintah pusat di mata rakyat, khususnya di Taiz dan wilayah pantai barat.
Para analis menyebut, bila perpecahan ini terus berlanjut tanpa adanya rekonsiliasi internal, maka faksi National Resistance dan Political Bureau pimpinan Tarik Saleh bisa saja memilih keluar dari Dewan Kepresidenan. Langkah itu akan menambah fragmentasi kekuatan anti-Houthi.
Situasi ini jelas menjadi alarm bagi masyarakat internasional, sebab stabilitas Yaman pasca-perang bergantung pada kesatuan faksi-faksi pro-pemerintah. Ketika internal mereka sendiri terpecah, bukan tak mungkin Houthi kembali memanfaatkan situasi untuk memperluas wilayah kendalinya.
Sejumlah pihak di Taiz menyerukan agar Rashad al-Alimi segera melakukan reformasi di jajaran eksekutif provinsi, termasuk evaluasi terhadap gubernur. Selain itu, mereka berharap ada paket pendanaan bersama Saudi-Emirat-Qatar-Kuwait untuk proyek air, listrik, kesehatan, dan pembayaran gaji aparat.
Jika hal ini tidak segera dilakukan, bukan hanya Tarik Saleh yang akan meninggalkan dewan, tetapi juga muncul risiko Dewan Kepresidenan kehilangan legitimasi dan kendali di sejumlah wilayah strategis, memperburuk situasi kemanusiaan dan memperpanjang konflik di Yaman.
Post a Comment