ilustrasi |
Di sekolah tempat saya berlatih mengajar, Phrateepsaart Islam Vittya Mulnithi School di Provinsi Songkhla, di sini tak semua bisa berbahasa Melayu. Warga yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa ibu, tetap menguasai bahasa Thai dengan utuh.
Tetapi mereka yang berbahasa Thai sebagai bahasa ibu, tak semuanya bisa berbahasa Melayu. Contohnya, para murid dan guru-guru di sekolah ini, ada yang bisa berbahasa Melayu dan Thai.
Para dwibahasawan ini akan menyesuaikan jika berbicara dengan lawan bicaranya. Jika lawan bicaranya hanya bisa berbahasa Thai, mereka akan menggunakan bahasa Thai, dan sebaliknya. Jika lawan bicaranya dwibahasawan juga, mereka lebih memilih berbahasa Melayu ketika berkomunikasi.
Bahasa Melayu-Thailand di sini hampir semua huruf vokal [a] di belakang kata akan berubah menjadi [o] seperti pengucapan kata [logat]. Contohnya, saya menjadi sayo, banyak menjadi banyok, kakak menjadi kakok, sama-samo, ada-ado, bapak-bapok, budak-budok, mana-mano, biasa-biaso, telinga-telingo, mata-mato, minta-minto, semua-semuo, lupa-lupo, saja-sajo, dan sudah-sudoh.
Untuk kata berakhiran –an dan –am, akan berubah menjadi vokal [e] seperti pengucapan kata [enak]). Contohnya, makan emnjadi make, jalan-jale, jangan-jange, bukan-buke, depan-dape, bulan-bule, enam-ene, demam-deme, imam-ime, dalam-dale, dan paham-pahe/pehe.
Untuk kata tanya yang digunakan pun serupa tapi tak sama. Siapa menjadi piyo/siapo, di mana menjadi dok-mano, bagaimana menjadi bekno, apa menjadi gapo/apo, kapan menjadi bilo, mengapa menjadi wakpo, dan ke mana menjadi kano. (sumber)
Post a Comment