Headlines

Tekanan Trump: Strategi Pecah Belah Global Baru?

Kebijakan luar negeri Donald Trump, meskipun tak lagi di bawah sorotan Gedung Putih, kembali menggema lewat strategi tekanan yang mengingatkan pada pola adu domba. Setelah sebelumnya sukses menekan sejumlah negara Arab untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, kini strategi serupa tampaknya tengah digencarkan terhadap negara-negara mitra dagang Amerika, kali ini dengan sasaran utama: China.

Pada masa pemerintahannya, Trump mendorong perjanjian Abraham yang membuat beberapa negara Arab—seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko—mengakui Israel secara resmi. Namun langkah ini tidak serta merta membawa perdamaian di Timur Tengah. Justru, ia memicu ketegangan baru di antara negara-negara Arab sendiri, menciptakan kesan seolah pengakuan terhadap Israel merupakan legitimasi atas tindakan brutal dan genosida yang dilakukan terhadap rakyat Palestina di Gaza.

Kini, Trump dan lingkaran politiknya dikabarkan tengah merancang tekanan serupa di bidang perdagangan global. Lebih dari 70 negara dikabarkan sedang didekati untuk menandatangani komitmen membatasi kerja sama dengan China. Kompensasinya: keringanan tarif dari Amerika Serikat. Tekanan ini disusun secara sistematis untuk membenturkan negara-negara sahabat China agar berpaling dari Beijing demi keuntungan sesaat dari Washington.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah dunia akan kembali terjebak dalam logika geopolitik pecah belah seperti era Perang Dingin? Trump tampaknya memosisikan dirinya sebagai arsitek blok baru, bukan berdasarkan nilai-nilai demokrasi atau HAM, melainkan kepentingan ekonomi dan dominasi politik semata.

Yang menjadi perhatian khusus adalah bagaimana negara-negara BRICS — Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan — menyikapi tekanan ini. Mereka dikenal sebagai kekuatan alternatif yang tengah mencoba mengurangi ketergantungan pada Barat dan mempromosikan tatanan multipolar. Namun, akankah mereka mampu bertahan dari godaan atau ancaman yang dilontarkan dari Washington?

Di beberapa negara, tekanan ini mulai terasa. India, misalnya, yang menjalin kerja sama erat dengan AS dalam bidang militer dan teknologi, juga merupakan anggota BRICS dan memiliki hubungan ekonomi yang dalam dengan China. Posisi dilematis ini membuat India harus berhati-hati agar tidak terseret dalam konflik kepentingan dua kekuatan besar.

Hal yang sama dirasakan oleh Brasil, yang tengah mencari investasi untuk sektor agrikultur dan infrastruktur. Sementara Rusia dan China secara terbuka menolak tekanan Amerika, negara-negara BRICS lain tampaknya berada dalam posisi “wait and see”.

Trump tampaknya tak hanya ingin menekan, tapi juga memecah. Dalam kasus Timur Tengah, ia berhasil memisahkan negara-negara Arab dalam dua kubu: yang mengakui Israel dan yang menolaknya. Retorika "perdamaian" yang dibawanya nyatanya hanya menyisakan lebih banyak luka dan polarisasi. Strategi yang sama kini sedang diterapkan ke kawasan Asia dan Amerika Latin.

Lebih dari sekadar tekanan ekonomi, pola ini mengindikasikan penggunaan pendekatan geopolitik yang manipulatif: menjanjikan keuntungan ekonomi dengan syarat mengorbankan hubungan diplomatik yang telah lama terjalin. Ini bukan sekadar urusan perdagangan, melainkan upaya membentuk ulang konstelasi kekuasaan global.

Strategi ini juga tampak mengabaikan konteks dan dinamika regional. Negara-negara yang memiliki sejarah panjang kerja sama dengan China, seperti negara-negara ASEAN atau Afrika, tentu tidak dapat serta merta membalik haluan hanya karena iming-iming insentif dari AS. Ada harga politik dan sosial yang harus dibayar.

Isu ini menjadi ujian besar bagi negara-negara yang ingin mempertahankan kedaulatan dalam kebijakan luar negerinya. Terlebih lagi, ketika tekanan dari negara besar seperti AS disertai dengan narasi “jika tidak bersama kami, berarti melawan kami”, pilihan yang tersedia menjadi semakin sempit.

Indonesia misalnya, yang memiliki posisi strategis di Indo-Pasifik, juga harus menanggapi isu ini dengan cermat. Ketergantungan pada China dalam sektor investasi dan perdagangan tidak bisa begitu saja diputus. Namun pada saat yang sama, hubungan baik dengan AS juga penting bagi stabilitas kawasan.

Yang dikhawatirkan, jika negara-negara berkembang terlalu mudah tergoda oleh tawaran sepihak, maka lahirlah ketergantungan baru — bukan pada barang murah dari China, tapi pada sistem tekanan diplomatik dari AS. Ini bisa melemahkan kemandirian dan posisi tawar negara-negara tersebut dalam percaturan global.

Dalam konteks inilah, strategi Trump patut dipertanyakan. Apakah ini benar-benar upaya membangun aliansi baru yang seimbang, atau hanya pengulangan pola lama: memecah, menguasai, dan memanen keuntungan politik?

Lebih ironis lagi, tekanan ini datang di saat dunia tengah menghadapi krisis kemanusiaan di Gaza. Banyak negara yang menormalisasi hubungan dengan Israel kini justru dituding melegitimasi genosida yang terjadi, hanya karena tak berani bersuara lantang. Hal yang sama bisa terjadi jika negara-negara tunduk pada tekanan AS terhadap China.

Jika dahulu tekanan digunakan untuk memecah solidaritas Arab, kini hal itu sedang dijajal untuk memecah negara-negara mitra dagang China. Strategi ini bukan hanya berbahaya, tapi juga melemahkan potensi kerja sama global yang lebih inklusif dan seimbang.

Yang dibutuhkan dunia saat ini bukanlah kutub-kutub baru yang dibangun atas dasar tekanan, tapi jembatan-jembatan diplomasi yang memperkuat perdamaian dan keseimbangan kekuasaan global. Negara-negara seperti Indonesia, India, Brasil, dan Afrika Selatan memiliki peluang besar untuk memainkan peran penengah.

Agar dunia tidak kembali terjebak dalam polarisasi ala Perang Dingin, diperlukan keberanian politik untuk menolak dikotomi yang dipaksakan. Dunia multipolar seharusnya menjadi ruang dialog, bukan arena tekanan.

Jika tidak, maka sejarah akan kembali berulang: kekuatan besar bertikai, sementara negara-negara kecil terpaksa menjadi pion dalam permainan yang bukan milik mereka.

Share this:

Post a Comment

 
Copyright © Melayu Siam. Designed by OddThemes