Sejarah panjang marga Lubis tak lepas dari akar peradaban tua yang mengakar dalam di wilayah Tapanuli, Sumatra Utara. Catatan lisan dan kisah turun-temurun menyebut bahwa asal mula marga Lubis berawal dari zaman sebelum berdirinya Kerajaan Barus, sebuah kerajaan yang dipercaya sudah ada sejak 300 SM dan berkembang di wilayah yang kini dikenal sebagai Tapanuli Tengah dan beribukota di Pandan sekitar Sibolga. Dalam narasi budaya lokal, keberadaan kerajaan ini erat kaitannya dengan kedatangan sekelompok orang dari daerah Madyan dan Syam di wilayah Arab yang disebutkan bermigrasi ke Sumatra Utara.
Para pendatang ini disebut membawa pengaruh besar terhadap pembentukan tata kelola pemerintahan lokal. Bahkan, legenda menyebut bahwa pasukan Raja Zulkarnaen yang dikenal dari kitab suci dan dongeng Islam pernah sampai ke kawasan Barus. Raja Barus pada masa itu diyakini menerima pelajaran menggunakan pedang dari pasukan Zulkarnaen, yang dikenal sebagai pasukan tangguh dan ditugaskan untuk menghapus kezaliman di berbagai penjuru dunia. Mereka juga diyakini meninggalkan simbol-simbol kepemimpinan seperti pedang dan tombak yang kelak menjadi ciri khas kekuasaan para raja Mandailing.
Kerajaan Barus pun tumbuh menjadi pusat budaya dan perdagangan yang penting, termasuk menjadi tempat singgah pelaut-pelaut Bugis dll dari Sulawesi (jalur penyebaran ras Austronesia) serta menjadi poros penyebaran marga-marga awal di wilayah Tapanuli. Salah satu era penting dalam sejarahnya adalah masa Kejayaan Kerajaan Aru yang berhubungan dengan berbagai kerajaan di Mandailing. Dari sinilah muncul cikal bakal marga Lubis, yang dikenal sebagai penguasa spiritual dan administratif wilayah Mandailing selama berabad-abad.
Raja Lubis dikenal memiliki tiga orang putra, yakni Pande (Pandya?) Julu, Silangkitang, dan Sibaitang. Ketiganya membawa cabang penyebaran marga Lubis ke berbagai daerah. Pande Julu tetap tinggal di wilayah asal kerajaan Barus yang kini menjadi Sibolga, sementara Silangkitang dan Sibaitang merantau ke arah selatan dan timur. Ketika mereka tiba di daerah Natal atau Muara Batang Gadis, wilayah tersebut belum sepenuhnya dikuasai. Para perantau ini kemudian mendirikan pemerintahan baru dan membawa pengaruh budaya dari Kerajaan Barus ke Mandailing.
Kawasan Muara Batang Gadis menjadi titik penting perkembangan kekuasaan marga Lubis. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kerajaan baru ini berhasil memperluas pengaruhnya hingga ke Huta Pungkut, Panyabungan, dan Sipirok. Bagas Godang, bangunan simbolik pusat kekuasaan, dibangun di Huta Pungkut sebagai lambang kekuatan marga Lubis. Di tempat ini pula ditemukan simbol pedang dan trompet yang dipercaya sebagai warisan dari era kerajaan Barus kuno.
Perkembangan sejarah Mandailing tak lepas dari pertempuran-pertempuran besar melawan kekuatan luar. Tercatat bangsa Portugis datang pada era pelayaran dan kolonialisme 3G/Gold, Glory dan Gospel (perjanjian Tordesillas) dan sempat menguasai sebagian Mandailing, namun akhirnya berhasil diusir oleh rakyat setempat. Kemudian, pasukan Inggris datang dan mengalami nasib serupa. Tahun 1780, Belanda masuk dan bertahan hingga 1942. Selama 162 tahun penjajahan itu, para raja Mandailing melakukan perlawanan dengan taktik gerilya yang dipimpin langsung oleh marga Lubis.
Namun jauh sebelum kolonialisme Eropa, Mandailing juga pernah diserbu oleh pasukan dari kerajaan India, Sriwijaya, dan bahkan Mongol. Meski sempat kalah dalam beberapa pertempuran awal, marga Lubis selalu berhasil merebut kembali wilayahnya. Kedatangan pasukan Majapahit juga meninggalkan jejak mendalam. Ketika Raja Mandailing menolak menyerahkan upeti, terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada dan prajurit Mandailing.
Legenda menyebutkan bahwa Raja Lubis menantang pasukan Majapahit melalui pertarungan kerbau sakral bernama Mojo Pahit. Kerbau Mandailing, yang terkenal tangguh, mampu mengalahkan kerbau Majapahit. Akibat kekalahan itu, Majapahit mundur dan tak pernah kembali mencoba menguasai Mandailing. Peristiwa ini memperkuat reputasi marga Lubis sebagai penjaga kehormatan wilayah Mandailing.
Setelah masa konflik besar itu, marga Lubis berkembang dan menyebar ke berbagai wilayah. Di antaranya adalah Huta Pungkut, Panyabungan, Muara Tais, Garoga, dan sebagian Pasaman. Ada pula yang bermukim di wilayah barat seperti Sibolga dan Natal, serta ke timur hingga Sipirok dan Kota Nopan. Penelitian lisan menyebut bahwa perpindahan ini sebagian besar terjadi akibat tekanan politik dan militer dari luar maupun kebutuhan untuk membuka permukiman baru.
Hingga kini, asal-usul marga Lubis memiliki empat versi utama. Pertama, berasal dari Kerajaan Barus, yakni keturunan awal yang menyebar dari Sibolga. Kedua, dari Kerajaan Mandailing, yakni era Kerajaan Aru. Ketiga, dari Batak kuno di sekitar Borbor, menyebar sekitar abad ke-13. Keempat, versi yang menyebut marga Lubis berasal dari keturunan Bugis, yakni dari Daeng Malela yang menikah dengan perempuan lokal dan menetap di Huta Pungkut sekitar tahun 1270 M.
Meski asal-usulnya beragam, semua versi sepakat bahwa marga Lubis memiliki peran sentral dalam sejarah Mandailing. Mereka tidak hanya dikenal sebagai pemimpin politik dan spiritual, tetapi juga sebagai penjaga adat dan budaya. Bahkan hingga kini, simbol-simbol kerajaan seperti pedang dan trompet masih dipelihara dengan penuh kehormatan di Bagas Godang Huta Pungkut.
Marga Lubis juga dikenal sebagai penjaga warisan budaya yang tangguh. Dalam berbagai perayaan adat, marga ini selalu tampil di garda depan. Mereka menjadi pemandu dalam acara-acara besar seperti pernikahan adat, mangupa, dan pengukuhan raja adat. Keteguhan mereka menjaga tradisi membuat eksistensinya tetap kuat hingga saat ini.
Di tengah modernisasi, para keturunan marga Lubis kini tersebar ke berbagai penjuru Indonesia dan dunia. Banyak di antaranya yang sukses di bidang politik, pendidikan, hukum, dan militer. Meski berada jauh dari tanah leluhur, nilai-nilai Mandailing dan semangat perjuangan nenek moyang tetap mereka junjung tinggi.
Tak berlebihan jika marga Lubis disebut sebagai penjaga sejarah Mandailing. Perjalanan panjang dari era Raja Zulkarnaen, Kerajaan Barus, hingga perjuangan melawan Majapahit dan penjajah Eropa menunjukkan konsistensi dalam mempertahankan identitas dan kehormatan. Marga Lubis bukan hanya sekadar nama, tetapi simbol ketahanan, kehormatan, dan kebangsawanan Mandailing yang tak lekang oleh waktu.
Dibuay oleh AI
Post a Comment