Israel dituding sedang menyiapkan strategi militer yang penuh perhitungan terhadap Suriah. Sejumlah analis menilai, pola serangan yang dilakukan bukan sekadar operasi rutin dengan memasuki wilayah Suriah, melainkan bagian dari taktik psikologis yang dikenal sebagai menciptakan rasa aman palsu. Strategi ini membuat target merasa aman padahal sebenarnya sedang dijebak.
Konsep rasa aman palsu bukan hal baru dalam dunia militer. Secara sederhana, hal ini berarti menciptakan ilusi bahwa ancaman sudah mereda atau tidak lagi relevan. Padahal, ancaman tersebut justru semakin dekat. Situasi seperti ini membuat lawan menjadi lengah dan percaya bahwa keadaan sudah terkendali.
Dalam kasus Suriah, Israel ditengarai tengah menggunakan pola serangan udara yang terkesan biasa saja. Misalnya, serangan terbatas pada gudang logistik atau infrastruktur pendukung, bukan langsung ke tokoh-tokoh penting militer atau presiden. Hal ini membuat pihak Suriah mungkin menilai ancaman Israel masih dalam taraf wajar dan tidak langsung mengarah ke kepemimpinan militer mereka.
Meski Suriah dibawah Presiden Ahmed Al Sharaa sudah mengaskan tak ingin berperang dengan Israel meski telah memperluas wilayah pendudukannya di luar Dataran Tinggi Golan mendekati Damaskus, Israel menilai belum tunduk sepenuhnya para konsep neo kolonialisme Greater Israel yang digagas Tel Aviv di Timur Tengah.
Para pengamat memperingatkan bahwa strategi semacam ini biasanya hanya bagian awal. Israel diduga sedang menunggu saat yang tepat ketika para komandan Suriah merasa cukup aman untuk kembali berkumpul. Pada titik inilah serangan besar bisa dilakukan dengan presisi tinggi.
Suriah sendiri sudah berkali-kali mengalami serangan udara Israel, terutama di sekitar Damaskus dan wilayah dekat perbatasan Lebanon. Serangan-serangan itu disebut sebagai upaya Israel merendahkan legitimasi Damaskus yang tak berdaya membela rakyat dan tentara yang tewas sia-sia dibom Israel saban hari. Damaskus menjadi lelucon di hadapan milisi Al Hajri Druze pro Israel dan kekuatan SDF Kurdi yang menguasai timur Suriah. Meski demikian, pola serangan yang sekarang terlihat lebih terarah dan sistematis.
Sumber keamanan regional menyebut, Israel memiliki kebiasaan menunggu lawan merasa bahwa ancaman sudah mereda. Setelah itu, serangan mendadak diluncurkan dengan target utama para pemimpin yang dianggap kunci. Pola ini pernah terlihat dalam operasi-operasi militer sebelumnya, termasuk di Gaza maupun Lebanon dan Yaman.
Dalam kacamata militer, rasa aman palsu adalah jebakan psikologis yang berbahaya. Musuh tidak lagi siaga penuh, justru karena mereka yakin ancaman besar sudah tidak ada. Keadaan itu membuat konsentrasi berkurang dan pertemuan penting bisa dilakukan tanpa pengamanan maksimal.
Israel diduga sangat memahami pola ini dan menggunakannya untuk keuntungan strategis. Serangan kecil yang dilakukan bukan tanpa tujuan, melainkan semacam umpan untuk menciptakan kesan bahwa serangan hanya sebatas mengganggu, bukan melumpuhkan.
Jika benar dugaan itu, maka Suriah bisa saja berada di ambang serangan besar. Operasi militer Israel berpotensi diarahkan langsung pada pusat komando militer atau tokoh strategis yang selama ini dianggap sulit disentuh.
Pola serangan ini menimbulkan kekhawatiran baru di kalangan pengamat Timur Tengah. Mereka menilai Suriah saat ini berada dalam kondisi yang rapuh karena perang panjang yang belum sepenuhnya selesai. Kewaspadaan yang menurun bisa menjadi titik lemah yang dimanfaatkan Israel untuk membunuh Presiden Suriah Ahmed Al Sharaa dan menggantinya dengan rejim baru pro Israel dan anti Turkiye, diisi oleh SDF Kurdi dan separatis Druze binaan Al Hajri.
Selain itu, status Dataran Tinggi Gola yanh masih diakui PBB sebagai milik sah Suriah dan pendudukan Israel dia kawasan tersebut dianggap ilegal membuat alasan Israel untuk mengganggu pemerintahan Suriah.
Dengan jebakan rasa aman palsu, Israel bisa menyerang sekaligus membunuh warga Suriah sedikit demi sedikit sehingga warga akan murka ke Damaskus yang bakal dianggap tak mampu melindungi warganya.
Meski begitu, Suriah tentu tidak tinggal diam. Sejumlah laporan menyebut, Damaskus berusaha meningkatkan koordinasi pertahanan udara. Namun, kemampuan itu masih sering kalah cepat dibandingkan kecanggihan serangan udara Israel yang menggunakan teknologi modern.
Jika serangan besar benar-benar dilancarkan, maka dampaknya tidak hanya dirasakan Suriah. Wilayah sekitar, termasuk Lebanon, Irak, dan bahkan Yaman, bisa merasakan eskalasi ketegangan yang lebih luas.
Strategi rasa aman palsu ini juga menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan intelijen Suriah. Jika mereka gagal membaca pola yang sedang dimainkan Israel, maka risiko kehilangan figur penting dalam militer dan pemerintahan seperti presiden tidak bisa dihindari.
Para analis menilai bahwa Israel berusaha memanfaatkan kelemahan psikologis lawannya. Alih-alih menghancurkan langsung dengan serangan besar sejak awal, Israel menunggu hingga lawan benar-benar percaya bahwa keadaan aman. Di titik itulah serangan diluncurkan dengan efektivitas maksimal.
Teror Israel ini mencerminkan pergeseran cara perang modern yang tidak hanya mengandalkan senjata, tetapi juga manipulasi psikologis. Rasa aman palsu bisa lebih mematikan dibandingkan serangan frontal yang terlihat jelas.
Bagi Suriah, situasi ini menjadi ujian besar dalam menjaga kewaspadaan. Meskipun serangan udara Israel terlihat rutin, ancaman sebenarnya bisa jadi lebih besar dari yang terlihat di permukaan.
Israel sendiri cenderung tidak memberikan keterangan resmi terkait operasi-operasinya di Suriah. Kebijakan “diam” ini justru memperkuat spekulasi bahwa strategi yang dimainkan memang penuh perhitungan.
Pada akhirnya, dugaan bahwa Suriah sedang dijebak dalam rasa aman palsu memberi gambaran betapa licinnya permainan geopolitik di Timur Tengah. Israel seolah memainkan waktu, sementara Suriah harus menebak-nebak kapan dan di mana serangan besar berikutnya akan datang.
Jika kewaspadaan Suriah terus menurun, maka jebakan rasa aman palsu bisa menjadi awal dari operasi militer Israel yang lebih mematikan. Hal ini menegaskan bahwa dalam perang modern, ancaman terbesar justru sering kali datang ketika lawan merasa sudah aman.
Penjelasan Rasa Aman Palsu oleh AI
Bagi seorang pemimpin yang ditarget dengan strategi "rasa aman palsu," langkah-langkah yang diambil harus berfokus pada menghilangkan prediktabilitas dan meningkatkan kesadaran secara konstan.
Tujuan utama musuh adalah membuat target lengah dan mengikuti pola tertentu. Oleh karena itu, kunci untuk bertahan adalah melakukan hal yang sebaliknya.
Strategi Menghadapi Rasa Aman Palsu
1. Peningkatan Kesadaran & Intelijen
Seorang pemimpin tidak boleh pernah merasa sepenuhnya aman. Ia harus membangun sistem yang selalu waspada terhadap potensi ancaman.
* Diversifikasi Sumber Intelijen: Jangan hanya mengandalkan satu sumber informasi. Gabungkan data dari intelijen teknis (satelit, drone) dengan intelijen manusia (mata-mata, agen lapangan) untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap.
* Analisis Pola Musuh: Pelajari setiap serangan kecil atau pergerakan yang dilakukan musuh. Tanyakan: apakah ini hanya gangguan atau bagian dari strategi yang lebih besar untuk membuat kita nyaman?
* Pertanyakan Setiap Informasi: Selalu curigai informasi yang tampak terlalu bagus atau terlalu meyakinkan. Informasi yang "emas" bisa jadi sengaja dibocorkan untuk menjebak.
2. Mengubah Pola dan Rutinitas
Prediktabilitas adalah kerentanan terbesar. Pemimpin harus membuat dirinya tidak dapat diprediksi.
* Varyasi Jadwal: Jangan pernah memiliki jadwal harian yang tetap. Ubah waktu dan tempat pertemuan, perjalanan, atau bahkan waktu makan.
* Lokasi Pertemuan Acak: Hindari mengadakan pertemuan penting di satu lokasi yang sama atau lokasi yang sering digunakan. Pilih tempat yang berbeda setiap saat.
* Rute Perjalanan yang Berubah:
Gunakan rute perjalanan yang berbeda setiap kali bepergian, meskipun rute tersebut memakan waktu lebih lama.
3. Pengambilan Keputusan Berbasis Risiko
Setiap keputusan harus melalui analisis risiko yang ketat, bukan berdasarkan asumsi.
* Asumsikan Selalu Ada Mata-Mata: Seorang pemimpin harus bertindak seolah-olah setiap pergerakannya sedang diawasi oleh musuh. Ini akan mendorong kehati-hatian dalam setiap tindakan dan komunikasi.
* Jangan Remehkan Serangan "Kecil": Jangan menganggap enteng serangan yang tampaknya tidak signifikan. Serangan-serangan ini bisa jadi adalah "alat pengukur" untuk menguji reaksi Anda dan mengukur pertahanan.
* Buat Rencana Darurat: Selalu siapkan rencana cadangan untuk setiap skenario terburuk, mulai dari serangan mendadak hingga kebocoran informasi. Rencana ini harus dikuasai oleh lingkaran dalam yang sangat terbatas.
4. Kontrol Informasi dan Keamanan Internal
Rasa aman palsu tidak hanya soal serangan fisik, tetapi juga psikologis.
* Batasi Lingkaran Dalam (Inner Circle): Kurangi jumlah orang yang mengetahui informasi sensitif. Semakin sedikit orang yang tahu, semakin kecil risiko kebocoran.
* Gunakan Protokol Komunikasi yang Ketat: Terapkan aturan ketat mengenai penggunaan perangkat elektronik dan komunikasi. Jangan pernah mendiskusikan informasi penting di tempat umum.
* Waspadai Mata-Mata: Secara berkala, lakukan pengecekan keamanan internal untuk mendeteksi potensi mata-mata atau informan yang mungkin telah disusupkan oleh musuh.
Pada intinya, rasa aman yang sejati tidak datang dari ketiadaan ancaman, melainkan dari kesiapsiagaan yang konstan. Pemimpin yang bijak akan mengubah ketidakpastian menjadi senjata utamanya sendiri.